Faktatoday.com – Ketika uang rakyat dirampas dengan cara licik, hukum tidak boleh diam. Ketika kepala desa mempermainkan kepercayaan publik, Kejaksaan Negeri (Kejari) tidak boleh menutup mata. Diamnya aparat penegak hukum di tengah aroma korupsi bukan sekadar kelalaian — itu bentuk pengkhianatan terhadap keadilan dan penderitaan rakyat.

Sudah terlalu sering publik disuguhi drama klasik: kepala desa mengembalikan “sebagian” uang negara setelah diperiksa, seolah itu bisa menebus dosa. Padahal, pengembalian dana — sebagian ataupun seluruhnya — tidak menghapus tindak pidana. Itu hanya catatan kecil di lembar pertimbangan hakim, bukan jalan keluar dari jerat hukum.

Jika setelah tiga bulan dana kerugian belum dilunasi, maka Kejari wajib turun tangan. Tidak ada alasan untuk menunggu atau berdiam diri. Karena ketika Kejari ragu, pelaku akan merasa aman. Dan ketika penegak hukum diam, korupsi akan tumbuh subur seperti penyakit menular di tubuh pemerintahan desa.

Kejari Harus Bergerak, Bukan Menonton

Kejaksaan Negeri memiliki mandat besar — bukan untuk menjadi penonton yang mencatat, tapi penegak yang menggigit.

1. Jangan Tunggu Laporan — Mulailah Bertindak

Begitu Inspektorat menyerahkan hasil temuan, Kejari harus langsung membuka penyelidikan. Setiap rupiah yang raib dari kas desa adalah bukti kejahatan, bukan sekadar kesalahan administratif. Jika ada bukti kuat, naikkan ke tahap penyidikan dan tetapkan tersangkanya. Jangan biarkan jabatan kepala desa menjadi tameng untuk mengulur waktu.

2. Tindak Tegas, Sita Aset, Pulihkan Uang Negara

Kejari juga harus menegakkan pasal uang pengganti tanpa pandang bulu. Bila kepala desa tidak melunasi kerugian, segera lakukan penyitaan aset. Mobil mewah, tanah, rumah — semua hasil korupsi harus diseret ke meja lelang.

Dan bila hartanya tak cukup, penjara adalah penggantinya. Jangan ada ruang kompromi. Karena setiap kelonggaran berarti penghinaan terhadap rakyat yang uangnya dirampas.

3. Proses Hukum Harus Terbuka dan Transparan

Kejari juga harus memastikan proses penuntutan berjalan transparan. Rakyat berhak tahu sejauh mana kasus berjalan, agar tidak ada kesan permainan di bawah meja.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus berani menuntut berat, dengan pasal-pasal korupsi berlapis: Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang ancamannya bisa mencapai penjara seumur hidup.

Kejari, Jangan Tutup Mata Atas Luka Desa

Diamnya Kejari di tengah kasus korupsi desa sama saja membiarkan rakyat hidup di atas abu keadilan. Jangan biarkan hukum menjadi tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kepala desa bukan dewa kecil yang kebal hukum — mereka hanyalah pelayan rakyat yang wajib mempertanggungjawabkan setiap rupiah yang dikelolanya.

Kejari harus menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak bisa dibeli, diatur, atau dinegosiasikan.

Setiap keterlambatan dalam bertindak hanya mempertebal rasa tidak percaya publik kepada aparat penegak hukum.

Program Jaksa Garda Desa Harus Hidup, Bukan Sekadar Spanduk

Sudah saatnya Kejari membuktikan bahwa program “Jaksa Garda Desa” bukan hanya slogan seremonial di baliho dan spanduk.

Turun ke lapangan, awasi pengelolaan dana desa, dampingi aparat desa agar paham hukum, dan tangkap mereka yang menyalahgunakan amanah. Pencegahan tidak berarti kelembekan; pencegahan berarti ketegasan sejak dini.

Keadilan Tak Akan Datang Jika Kejari Terlambat Bergerak

Kepala desa yang menyelewengkan uang rakyat adalah pencuri berseragam. Dan ketika pencuri itu dibiarkan, maka Kejari ikut bersalah karena membiarkan hukum mati di tangan kekuasaan.

Kejari harus membuktikan diri sebagai benteng terakhir rakyat, bukan pagar yang roboh karena uang dan jabatan.

Karena di mata rakyat, diamnya Kejari lebih menakutkan daripada pelaku korupsi itu sendiri.