Faktatoday.com – Bandung, Presiden Prabowo Subianto menegaskan sektor pendidikan menjadi prioritas melalui percepatan Program Hasil Terbaik dan Cepat (PHTC). Salah satu fokusnya adalah Perbaikan Sarana dan Prasarana Pendidikan (PSPP) yang kini mulai digencarkan di berbagai daerah.

Namun, di balik gebrakan itu, potensi penyimpangan dan praktik culas mengintai. Apalagi, pola pembangunan dilakukan dengan sistem swakelola mandiri, yang rawan disalahgunakan bila pengelola proyek tidak memiliki integritas.

Data Mengerikan Kerusakan Sekolah

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, kerusakan sekolah di Indonesia sudah mencapai level darurat:

Sekolah Dasar (SD): 49% rusak sedang, 11% rusak berat.

Sekolah Menengah Pertama (SMP): 42% rusak sedang, 7% rusak berat.

Sekolah Menengah Atas (SMA): 33% rusak sedang, 6% rusak berat.

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK): 33% rusak sedang, 3% rusak berat.

Dengan kondisi itu, pemerintah melalui APBN 2025 telah mengucurkan Rp17 triliun. Namun, Presiden mengakui dana sebesar itu hanya cukup memperbaiki sekitar 11 ribu sekolah dari total ribuan sekolah rusak di seluruh Indonesia.

Kasus SDN Cirengganis: Potret Mikro Proyek Revitalisasi

Di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, revitalisasi dilakukan di SDN Cirengganis, Desa Haur Gombong, Kecamatan Pamulihan. Proyek ini mencakup perbaikan empat ruang kelas dan satu ruang kepala sekolah, dengan nilai anggaran fantastis mencapai Rp646.387.409,00.

Pengawas proyek dari Dinas Pendidikan, Tedi, menyebut pembangunan berjalan sesuai ketentuan swakelola. Namun, ia menyinggung adanya ruang untuk perubahan kontrak hingga 10% (Contract Change Order/CCO). Celah inilah yang dinilai rawan dimanfaatkan oleh oknum untuk “mengutak-atik” perhitungan.

“Jika perhitungan mengacu pada standar lama, tentu ada potensi penyimpangan. CCO memang dibolehkan, tapi tetap harus transparan dan sesuai aturan,” ujar Tedi.

Peringatan Keras: Swakelola Bisa Jadi Bumerang

Pemerhati Pendidikan, Edi Sutiyo, mengingatkan bahwa program besar ini wajib diawasi secara serius. Menurutnya, swakelola memang punya keunggulan, tapi juga bisa jadi bumerang.

“Jika panitia pelaksana bukan orang berkompeten dan cacat integritas, anggaran triliunan rupiah bisa bocor. Papan proyek harus jelas: jumlah anggaran, lama pekerjaan, hingga siapa penanggung jawabnya. Semua wajib dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel,” tegas Edi, yang juga Ketua Umum Simpe Nasional.

Ia mengingatkan, perubahan kontrak lebih dari 10% hanya bisa dilakukan dengan alasan teknis yang sangat kuat. Tanpa itu, proyek rawan jadi ladang bancakan anggaran.

Ancaman di Balik Anggaran Triliunan

Fakta bahwa proyek revitalisasi sekolah menyedot dana ratusan juta hingga miliaran rupiah di setiap titik harus menjadi alarm bahaya. Bila pengawasan lemah, bukan hanya kualitas bangunan yang dipertaruhkan, melainkan juga masa depan jutaan siswa Indonesia yang akan tetap belajar di sekolah yang rapuh, bocor, dan jauh dari standar aman.(AM/Ed)