Faktatoday.com – Muaro Jambi, Setiap sore, Desa Mendalo Indah seolah berubah menjadi arena siksaan lalu lintas. Tepat di depan gerbang Universitas Jambi, ratusan kendaraan harus merayap tanpa kepastian. Jalan lintas nasional yang seharusnya menjadi jalur vital penghubung antarwilayah, justru menjadi korban dari sistem manajemen kampus yang tak kunjung beres.
Pukul 16.30 WIB hingga 18.00 WIB adalah waktu paling mencekam. Ribuan mahasiswa tumpah ruah keluar dari gerbang utama. Jalan mendadak lumpuh, kendaraan berat terjebak, angkutan umum tertahan, dan masyarakat umum yang hanya ingin melintas pun ikut terperangkap dalam antrean panjang.
Fenomena ini bukan peristiwa baru. Sudah bertahun-tahun terjadi, namun seakan dibiarkan tanpa solusi serius. Ironisnya, setiap hari masyarakatlah yang harus menanggung akibatnya.
Sistem Buka-Tutup: Biang Keladi Macet
Pihak kampus selama ini hanya mengandalkan sistem buka-tutup jalan yang dikendalikan oleh beberapa petugas keamanan internal. Akan tetapi, sistem itu justru memperparah kondisi. Lalu lintas yang seharusnya lancar menjadi terhenti karena gelombang mahasiswa diprioritaskan keluar masuk gerbang utama.
Seorang pengendara truk lintas Sumatera yang ditemui di lokasi mengatakan, “Setiap lewat sore, pasti macet di depan kampus. Kadang satu jam lebih baru bisa jalan. Jalan lintas kok rasanya kayak parkiran kampus,” keluhnya dengan nada kesal.
Tak sedikit pengendara yang memilih memutar jalan lebih jauh demi menghindari kemacetan, meski harus mengeluarkan ongkos bahan bakar lebih besar. Namun, bagi kendaraan besar atau trayek angkutan umum, kemacetan ini tidak bisa dihindari.
Ribuan Mahasiswa, Ribuan Kendaraan
Universitas Jambi adalah kampus terbesar di Provinsi Jambi, dengan jumlah mahasiswa mencapai puluhan ribu orang. Setiap sore, ribuan kendaraan pribadi milik mahasiswa keluar hampir bersamaan. Tanpa pengaturan lalu lintas memadai, jalan lintas nasional praktis berubah menjadi jalur macet permanen.
Parahnya lagi, sebagian mahasiswa kerap berkendara secara ugal-ugalan, menyalip tanpa aturan, bahkan melawan arus. Kondisi ini menambah potensi bahaya di tengah kemacetan yang sudah tak terkendali.
Seorang warga sekitar, yang enggan di sebut nama nya, mengaku sudah terbiasa dengan situasi ini, meski setiap hari harus menanggung dampaknya.
“Kalau sore, jangan harap bisa cepat sampai rumah. Kadang saya harus jalan kaki nyebrang karena motor nggak bisa lewat. Kampus besar kok bikin masyarakat sengsara,” ujarnya geram.
Universitas Jambi Dipertanyakan: Lalai atau Acuh?
Pertanyaan besar muncul: Mengapa universitas sebesar itu tidak memiliki manajemen lalu lintas yang lebih manusiawi? Mengapa ribuan mahasiswa dibiarkan keluar serentak tanpa rekayasa arus yang profesional? Dan mengapa tidak ada inisiatif membuat jalur alternatif, atau pintu keluar tambahan, untuk mengurai arus kendaraan?
Apalagi, masalah ini bukan hanya soal macet. Ia menyangkut keselamatan, waktu, dan hak publik atas jalur lalu lintas nasional. Jalan raya bukanlah fasilitas eksklusif kampus, tetapi ruang bersama yang wajib dijaga keteraturannya.
Suara Keras Aktivis
Aktivis Muaro Jambi, Hendri Apriyandi, melontarkan kritik tajam atas situasi ini.
“Kemacetan di depan Universitas Jambi bukan sekadar gangguan kecil, tapi bentuk arogansi kelembagaan. Ratusan pengguna jalan dikorbankan setiap hari karena manajemen kampus gagal mengantisipasi dampak aktivitasnya. Kalau saat wisuda, macet bisa sampai berkilo-kilometer. Ini bukan hanya mengganggu, tapi juga membahayakan. Seolah pihak universitas menutup mata,” tegasnya.
Hendri menambahkan bahwa universitas seharusnya tidak hanya mendidik di ruang kelas, tetapi juga memberi teladan dalam tata kelola ruang publik.
“Kalau kampus sebesar itu tidak mampu mengatur pintu keluar masuk mahasiswa, bagaimana bisa mengklaim sebagai lembaga modern dan berkelas dunia? Publik berhak menuntut tanggung jawab. Ini kegagalan manajemen yang nyata,” pungkasnya.
Kemacetan Saat Wisuda: Neraka Lalu Lintas
Situasi makin buruk setiap kali Universitas Jambi menggelar wisuda. Ribuan keluarga mahasiswa datang dengan kendaraan pribadi, memadati kawasan Mendalo Indah dan Mendalo Darat. Hasilnya: kemacetan panjang hingga belasan kilometer, yang melumpuhkan jalur lintas nasional.
Pada momen itu, warga sekitar bahkan sulit keluar rumah, pengendara terjebak berjam-jam, dan aktivitas ekonomi tersendat total. Kondisi ini memperlihatkan betapa lemahnya koordinasi antara pihak kampus, kepolisian, dan pemerintah daerah dalam mengelola lalu lintas di kawasan vital.
Publik Menunggu Solusi Nyata
Kemacetan di depan Universitas Jambi bukan lagi persoalan teknis, melainkan persoalan serius yang menyangkut tanggung jawab sosial sebuah institusi pendidikan terhadap masyarakat.
Solusi jangka pendek seperti pengaturan satpam jelas tidak cukup. Dibutuhkan langkah strategis: membuka akses jalan alternatif, menambah pintu keluar masuk, hingga berkoordinasi dengan Dinas
Perhubungan dan kepolisian untuk rekayasa lalu lintas profesional.
Sampai hari ini, publik masih menunggu jawaban: apakah Universitas Jambi akan terus membiarkan ribuan kendaraan tersandera setiap sore, atau berani bertindak menyelamatkan ruang publik dari kemacetan abadi?
