Letupan Kegeraman Publik

Pada tanggal 25 Agustus 2025, ribuan rakyat dari berbagai elemen mahasiswa, buruh, pengemudi ojek online, pelajar, hingga warga biasa berkongsi di depan Gedung DPR/MPR RI, membentangkan spanduk berani menuntut: “Bubarkan DPR,” dan “Sahkan RUU Perampasan Aset.” Teriakan ini bukan sekadar protes melainkan jeritan rakyat yang sudah lama merasa dikecewakan .

Berbagai tuntutan muncul: pengesahan RUU Perampasan Aset, penghapusan gaji dan tunjangan fantastis anggota DPR, bahkan penyitaan total aset koruptor demi keadilan sosial . Orasi dilantangkan dengan emosi yang memuncak: “Gedung ini milik rakyat!” dan “Gaji naik per hari Rp3 juta dari mana uang itu berasal?” .

Simbolisme Menggigit dan Bentrokan Mencekam

Aksi ini dipenuhi simbol tegas: teatrikal korupsi dengan penyitaan aset secara simbolik menjelang gedung parlemen . Namun, laju unjuk rasa segera berubah kisahnya: tekanan semakin memuncak ketika demonstran melempari petasan, bakar ban, dan mencoba menerobos barikade polisi .

Polisi merespons dengan water cannon dan gas air mata. Bentrokan tak terhindarkan, dengan massa yang bertahan tegar, bahkan melempar kembali . Kekacauan menjalar luas: di Bandung, cagar budaya yang merupakan aset MPR RI dilaporkan hangus terbakar dalam demo anarkis .

Frustrasi vs Realitas Konstitusional

Rakyat geram dan itu wajar. Tuntutan “bubarkan DPR” mencerminkan betapa jauh jurang presisi antara wakil dan rakyat telah menganga lebar. Kenaikan tunjangan rumah hingga Rp50 juta per bulan untuk anggota DPR semakin memperkeruh situasi .

Namun, perlu diingat bahwa secara konstitusional, pembubaran DPR bukan pilihan realistis tanpa amandemen UUD 1945. Sejarah mencatat hanya dua presiden (Sukarno dan Gus Dur) yang pernah melakukannya dan hasilnya pun kontroversial .

Puncak Kemarahan Demokrasi: Gelombang Reformasi Baru?

Pengamat politik melihat gelombang aksi ini sebagai alarm reformasi: bukan mendorong bubarnya sistem, melainkan “budaya politik transaksional” yang perlu dibubarkan . RUU Perampasan Aset kini bukan cuma kebijakan, tapi simbol demokratik: negara berhak mengeksekusi penyitaan aset koruptor tanpa harus menunggu vonis pidana.

Setelah seruan Presiden Prabowo untuk percepatan RUU ini semakin menguat , masyarakat menyiapkan diri untuk terus memantau janji itu menjadi aksi nyata

Demonstrasi ini yang dimulai sebagai aksi damai, namun berubah intens dan gaduh, merefleksikan satu hal: kehilangan kepercayaan rakyat kepada DPR dan lembaga-lembaga negara adalah nyata dan berbahaya, seandainya dibiarkan. Teriakan “Bubarkan DPR!” dan tuntutan perampasan aset kini adalah simbol bukan sekadar frustrasi, tapi harapan akan reformasi.

Jika DPR tak tanggap, rakyat bisa saja menuntut lebih dari kata-kata. Ini bukan sekadar pengingat—ini adalah panggilan bangun demi demokrasi yang lebih jujur dan akuntabel.